►►Masa Kepemimpinan
B.J. Habibie
Pada
awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor,
termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan
kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan
menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde
baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi
manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam
politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa
pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu,
Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi. Di bidang
ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar
antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama
setelah pertanggung jawabannya
ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS
nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain
itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus
mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan
ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
A. Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi
perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan
unit Pengelola Aset Negara
B. Melikuidasi
beberapa bank yang bermasalah
C. Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
D. Membentuk
lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
E. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang
disyaratkan IMF
F. Mengesahkan
UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak
Sehat
G. Mengesahkan
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pemerintahan presiden B.J.
Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang
cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik.
►►
Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam
hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir
mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI)
juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai
stabil.
Selama
pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa
disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik
Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh
semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi
perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain
itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan
daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus
tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF
menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda
perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF.
Seperti
yang dapat kita lihat pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs
rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat
sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level
Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia
secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta
dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret
2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden
Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada
bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh
Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar
rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional
yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis
kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih
besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal.
Pada
masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian
inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal
Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya,
kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
►►Masa
Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
A.
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$
5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang
luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
B.
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi
adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional. Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak
perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia
pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam
bidang-bidang lain.
►► Masa Kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan
Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK)
= (2004-2009) Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Sejak
tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada
tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi
SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas
dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat
yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang
tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY
hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui langkah MP3EI,
percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia sebagai negara
maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS 14.250-USS 15.500,
dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5 triliun.
SEMOGA BERMANFAAT
Komentar
Posting Komentar